Rabu, 30 Juli 2008

KANKER USUS BESAR / KOLON



Pengertian Kanker Kolon dan Rektum
Usus besar adalah bagian dari sistem pencernaan. Sebagaimana kita ketahui sistem pencernaan dimulai dari mulut, lalu kerongkongan (esofagus), lambung, usus halus (duodenum, yeyunum, ileum), usus besar (kolon), rektum dan berakhir di dubur. Usus besar terdiri dari kolon dan rektum. Kolon atau usus besar adalah bagian usus sesudah usus halus, terdiri dari kolon sebelah kanan (kolon asenden), kolon sebelah tengah atas (kolon transversum) dan kolon sebelah kiri (kolon desenden). Setelah kolon, barulah rektum yang merupakan saluran diatas dubur. Bagian kolon yang berhubungan dengan usus halus disebut caecum, sedangkan bagian kolon yang berhubungan dengan rektum disebut kolon sigmoid.Kanker adalah penyakit pertumbuhan sel yang bersifat ganas. Bisa mengenai organ apa saja di tubuh manusia. Bila menyerang di kolon, maka disebut kanker kolon, bila mengenai di rektum, maka disebut kanker rektum. Bila mengenai kolon maupun rektum maka disebut kanker kolorektal.

Kanker kolon sebagaimana sifat kanker lainnya, memiliki sifat dapat tumbuh dengan relatif cepat, dapat menyusup atau mengakar (infiltrasi) ke jaringan disekitarnya serta merusaknya, dapat menyebar jauh melalui kelenjar getah bening maupun pembuluh darah ke organ yang jauh dari tempat asalnya tumbuh, seperti ke lever, paru-paru, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan baik.

Penyebap dan Faktor Resiko
Hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti apa penyebab kanker kolorektal. Tidak dapat diterangkan, mengapa pada seseorang terkena kanker ini sedangkan yang lain tidak. Namun yang pasti adalah bahwa penyakit kanker kolorektal bukanlah penyakit menular. Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang akan rentan terkena kanker kolorektal yaitu:
* Usia, umumnya kanker kolorektal menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih dari 90 persen penyakit ini menimpa penderita diatas usia 50 tahun. Walaupun pada usia yang lebih muda dari 50 tahunpun dapat saja terkena. Sekitar 3 % kanker ini menyerang penderita pada usia dibawah 40 tahun.
* Polyp kolorektal, adalah pertumbuhan tumor pada dinding sebelah dalam usus besar dan rektum. Sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Kebanyakan polyp ini adalah tumor jinak, tetapi sebagian dapat berubah menjadi kanker. Menemukan dan mengangkat polyp ini dapat menurunkan resiko terjadinya kanker kolorektal.
* Riwayat kanker kolorektal pada keluarga, bila keluarga dekat yang terkena (orangtua, kakak, adik atau anak), maka resiko untuk terkena kanker ini menjadi lebih besar, terutama bila keluarga yang terkena tersebut terserang kanker ini pada usia muda.Kelainan genetik, perubahan pada gen tertentu akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal. Bentuk yang paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan kanker ini adalah hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC), yang disebabkan adanya perubahan pada gen HNPCC. Sekitar tiga dari empat penderita cacat gen HNPCC akan terkena kanker kolorektal, dimana usia yang tersering saat terdiagnosis adalah diatas usia 44 tahun.
* Pernah menderita penyakit sejenis, dapat terserang kembali dengan penyakit yang sama untuk kedua kalinya. Demikian pula wanita yang memiliki riwayat kanker indung telur, kanker rahim, kanker payudara memiliki resiko yang tinggi untuk terkena kanker ini.
* Radang usus besar, berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn yang menyebabkan inflamasi atau peradangan pada usus untuk jangka waktu lama, akan meningkatkan resiko terserang kanker kolorektal.* Diet, makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat dan rendah serat, jarang makan sayuran dan buah-buahan, sering minum alkohol, akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal.* Merokok, dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ini.

Deteksi Dini
Deteksi dini berupa skrining untuk mengetahui kanker kolorektal sebelum timbul gejala dapat membantu dokter menemukan polyp dan kanker pada stadium dini. Bila polyp ditemukan dan segera diangkat, maka akan dapat mencegah terjadinya kanker kolorektal. Begitu juga pengobatan pada kanker kolorektal akan lebih efektif bila dilakukan pada stadium dini. Untuk menemukan polyp atau kanker kolorektal dianjurkan melakukan deteksi dini atau skrining pada orang diatas usia 50 tahun, atau dibawah usia 50 tahun namun memiliki faktor resiko yang tinggi untuk terkena kanker kolorektal seperti yang sudah disebutkan diatas. Tes skrining yang diperlukan adalah
* Fecal occult blood test (FOBT), kanker maupun polyp dapat menyebabkan pendarahan dan FOBT dapat mendeteksi adanya darah pada tinja. FOBT ini adalah tes untuk memeriksa tinja. Bila tes ini mendeteksi adanya darah, harus dicari darimana sumber darah tersebut, apakah dari rektum, kolon atau bagian usus lainnya dengan pemeriksaan yang lain. Penyakit wasir juga dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja.
* Sigmoidoscopy, adalah suatu pemeriksaan dengan suatu alat berupa kabel seperti kabel kopling yang diujungnya ada alat petunjuk yang ada cahaya dan bisa diteropong. Alatnya disebut sigmoidoscope, sedangkan pemeriksaannya disebut sigmoidoscopy. Alat ini dimasukkan melalui lubang dubur kedalam rektum sampai kolon sigmoid, sehingga dinding dalam rektum dan kolon sigmoid dapat dilihat.Bila ditemukan adanya polyp, dapat sekalian diangkat. Bila ada masa tumor yang dicurigai kanker, dilakukan biopsi, kemudian diperiksakan ke bagian patologi anatomi untuk menentukan ganas tidaknya dan jenis keganasannya.
* Colonoscopy, sama seperti sigmoidoscopy, namun menggunakan kabel yang lebih panjang, sehingga seluruh rektum dan usus besar dapat diteropong dan diperiksa. Alat yang digunakan adalah colonoscope.
* Double-contrast barium enema, adalah pemeriksaan radiologi dengan sinar rontgen (sinar X ) pada kolon dan rektum. Penderita diberikan enema dengan larutan barium dan udara yang dipompakan ke dalam rektum. Kemudian difoto. Seluruh lapisan dinding dalam kolon dapat dilihat apakah normal atau ada kelainan.
* Colok dubur, adalah pemeriksaan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua dokter, yaitu dengan memasukkan jari yang sudah dilapisi sarung tangan dan zat lubrikasi kedalam dubur kemudian memeriksa bagian dalam rektum . Merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan. Bila ada tumor di rektum akan teraba dan diketahui dengan pemeriksaan ini.

KANKER KANDUNG KEMIH / BLADDER



I. Pengertian
Yang paling sering dijangkiti kanker dari alat perkemihan adalah kandung kemih. Kanker kandung kemih terjadi tiga kali lebih banyak pada pria dibandingkan pada wanita, dan tumor-tumor multipel juga lebih sering, kira-kira 25% klien mempunyai lebih dari satu lesi pada satu kali dibuat diagnosa.
Pada tiga dasawarsa terakhir, kasus kandung kemih pada pria meningkat lebih dari 20 % sedangkan kasus pada wanita berkurang 25%. Faktor predisposisi yang diketahui dari kanker kandung kemih adalah karena bahan kimia betanaphytilamine dan xenylamine, infeksi schistosoma haematobium dan merokok.
Tumor dari kandung kemih berurutan dari papiloma benigna sampai ke carcinoma maligna yang invasif. Kebanyakan neoplasma adalah jenis sel-sel transisi, karena saluran kemih dilapisi epithelium transisi. Neoplasma bermula seperti papiloma, karena itu setiap papiloma dari kandung kemih dianggap pramalignansi dan diangkat bila diketahui. Karsinoma sel-sel squamosa jarang timbul dan prognosanya lebih buruk. Neoplasma yang lain adalah adenocarcinoma.
Kanker kandung kemih dibagi tingkatannya berdasarkan kedalaman tingkat invasifnya yaitu: tingkat O Mukosa, tingkat A Sub Mukosa, Tingkat B Otot, Tingkat C Lemak Perivisial, Tingkat D Kelenjar Limfe.

II. Fokus Pengkajian
Hematuria yang tidak disertai rasa nyeri adalah gejala pertamanya pada kebiasaan tumor kandung kemih. Biasanya intermitten dan biasanya individu gagal untuk minta pertolongan. Hematuria yang tidak disertai rasa nyeri terjadi juga pada penyakit saluran kemih yang non malignant dan kanker ginjal karena itu tiap terjadi hematuri harus diteliti. Cystitis merupakan gejala dari tumor kandung kemih, karena tumor merupakan benda asing di dalam kandung kemih.
Pemeriksaan cytologi urine dapat memperkenalkan sel-sel maligna sebelum lesi dapat divisualisasikan dengan cystoscopy yang disertai biopsi. Penentuan klinis mengenai tingkatan invasif dari tumor penting dalam menentukan regimen terapi dan dalam pembuatan prakiraan prognose. Tiap orang yang pernah menjalani pengangkatan papilomma harus menjalani pemeriksaan cystoscopy tiap tiga bulan untuk selama dua tahun dan kemudian intervalnya sedikit dijarangkan bila tidak ada tanda-tanda lesi yang baru. Keperluan pemeriksaan yang sering harus dijelaskan oleh ahli urologi dan harus diperkuat oleh perawat.
Tumor-tumor kecil yang sedikit menjangkiti lapisan jaringan dapat ditolong dengan sempurna dengan fulgurisasi transuretra atau dieksisi. Foley kateter biasanya dipasang setelah pembedahan. Air kemih berwarna kemerahan tetapi tidak terjadi perdarahan gross. Rasa panas saat berkemih dapat diatasi dengan minum yang banyak dan buli-buli hangat pada daerah kandung kemih atau berendam air hangat. Klien boleh pulang beberapa hari kemudian setelah bedah. Bila tumor tumbuh pada kubah kandung kemih harus dilaksanakan reseksi segmental dari kandung kemih. Sistektomi atau pengangkatan seluruh kandung kemih harus dilaksanakan bila penyakit sudah benart-benar ganas.
Radiasi kobalt eksternal terhadap tumor yang invasif sering dilakukan sebelum bedah untuk memperlambat pertumbuhan. Radiasi supervoltase dapat diberikan kepada klien yang fisikinya tidak kuat menghadapai bedah. Radiasi bukan kuratif dan mutunya hanya sedikit dalam pengelolaan bila tumor tidak mungkin bisa dioperasi. Radiasi internal jarang dipakai karena efeknya yang berbahaya.
Chemotherapy merupakan paliatif. 5- Fluorouracil (5-FU) dan doxorubicin (adriamycin) merupakan bahan yang paling sering dipakai. Thiotepa dapat diamsukkan ke dalam kandung kemih sebagai pengobatan topikal. Klien dibiarkan menderita dehidrasi 8 sampai 12 jam sebelum pengobatan dengan theotipa dan obat diabiarkan dalam kandung kemih selama dua jam.

DIAGNOSA KEPERAWATAN & TINDAKAN PADA KLIEN DENGAN KANKER KANDUNG KEMIH
1. Cemas / takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan kematian, pemisahan dengan keluarga ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
Tujuan :
1. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya
2. Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.
3. Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan.
Tindakan :
Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya.
Berikan informasi tentang prognosis secara akurat.
Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai.
Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien mempersiapkan diri dalam pengobatan.
Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll.
Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system.
Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Pertahankan kontak dengan klien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.
Rasional:
Data-data mengenai pengalaman klien sebelumnya akan memberikan dasar untuk penyuluhan dan menghindari adanya duplikasi.
Pemberian informasi dapat membantu klien dalam memahami proses penyakitnya.
Dapat menurunkan kecemasan klien.
Membantu klien dalam memahami kebutuhan untuk pengobatan dan efek sampingnya.
Mengetahui dan menggali pola koping klien serta mengatasinya/memberikan solusi dalam upaya meningkatkan kekuatan dalam mengatasi kecemasan.
Agar klien memperoleh dukungan dari orang yang terdekat/keluarga.
Memberikan kesempatan pada klien untuk berpikir/merenung/istirahat.
Klien mendapatkan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa dia benar-benar ditolong.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), efek samping therapi kanker ditandai dengan klien mngatakan nyeri, klien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.
Tujuan :
1. Klien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas
2. Melaporkan nyeri yang dialaminya
3. Mengikuti program pengobatan
4. Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang mungkin
Tindakan :
Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas
Evaluasi therapi: pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan klien dan keluarga tentang cara menghadapinya
Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV
Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.
Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.
Kolaboratif:
Disusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga dengan klien.
Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll
Rasional:
Memberikan informasi yang diperlukan untuk merencanakan asuhan.
Untuk mengetahui terapi yang dilakukan sesuai atau tidak, atau malah menyebabkan komplikasi.
Untuk meningkatkan kenyamanan dengan mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri.
Meningkatkan kontrol diri atas efek samping dengan menurunkan stress dan ansietas.
Untuk mengetahui efektifitas penanganan nyeri, tingkat nyeri dan sampai sejauhmana klien mampu menahannya serta untuk mengetahui kebutuhan klien akan obat-obatan anti nyeri.
Agar terapi yang diberikan tepat sasaran.
Untuk mengatasi nyeri.

3. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekwensi khemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), emotional distress, fatigue, ketidakmampuan mengontrol nyeri ditandai dengan klien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan, konstipasi, abdominal cramping.
Tujuan :
1. Klien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi
2. Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat
3. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya
Tindakan :
Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan kebutuhannya.
Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan.
Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.
Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.
Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.
Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga.
Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.
Anjurkan komunikasi terbuka tentang problem anoreksia yang dialami klien.
Kolaboratif
Amati studi laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan albumin
Berikan pengobatan sesuai indikasi
Phenotiazine, antidopaminergic, corticosteroids, vitamins khususnya A,D,E dan B6, antacida
Pasang pipa nasogastrik untuk memberikan makanan secara enteral, imbangi dengan infus.
Rasional:
Memberikan informasi tentang status gizi klien.
Memberikan informasi tentang penambahan dan penurunan berat badan klien.
Menunjukkan keadaan gizi klien sangat buruk.
Kalori merupakan sumber energi.
Mencegah mual muntah, distensi berlebihan, dispepsia yang menyebabkan penurunan nafsu makan serta mengurangi stimulus berbahaya yang dapat meningkatkan ansietas.
Agar klien merasa seperti berada dirumah sendiri.
Untuk menimbulkan perasaan ingin makan/membangkitkan selera makan.
Agar dapat diatasi secara bersama-sama (dengan ahli gizi, perawat dan klien).
Untuk mengetahui/menegakkan terjadinya gangguan nutrisi sebagi akibat perjalanan penyakit, pengobatan dan perawatan terhadap klien.
Membantu menghilangkan gejala penyakit, efek samping dan meningkatkan status kesehatan klien.
Mempermudah intake makanan dan minuman dengan hasil yang maksimal dan tepat sesuai kebutuhan.

4. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.
Tujuan :
1. Klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada ting-katan siap.
2. Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur tersebut.
3. Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengo- batan.
4. Bekerjasama dengan pemberi informasi.
Tindakan :
Review pengertian klien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya.
Tentukan persepsi klien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada klien tentang pengalaman klien lain yang menderita kanker.
Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan.
Berikan bimbingan kepada klien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada klien.
Anjurkan klien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya.
Review klien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal.
Anjurkan klien untuk mengkaji membran mukosa mulutnya secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi.
Anjurkan klien memelihara kebersihan kulit dan rambut.
Rasional:
Menghindari adanya duplikasi dan pengulangan terhadap pengetahuan klien.
Memungkinkan dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan konsepsi serta kesalahan pengertian.
Membantu klien dalam memahami proses penyakit.
Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.
Mengetahui sampai sejauhmana pemahaman klien dan keluarga mengenai penyakit klien.
Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga mengenai nutrisi yang adekuat.
Mengkaji perkembangan proses-proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi serta masalah dengan kesehatan mulut yang dapat mempengaruhi intake makanan dan minuman.
Meningkatkan integritas kulit dan kepala.

5. Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemotherapi dan radiasi/radiotherapi.
Tujuan :
1. Membrana mukosa tidak menunjukkan kerusakan, terbebas dari inflamasi dan ulcerasi
2. Klien mengungkapkan faktor penyebab secara verbal.
3. Klien mampu mendemontrasikan tehnik mempertahankan/menjaga kebersihan rongga mulut.
Tindakan :
Kaji kesehatan gigi dan mulut pada saat pertemuan dengan klien dan secara periodik.
Kaji rongga mulut setiap hari, amati perubahan mukosa membran. Amati tanda terbakar di mulut, perubahan suara, rasa kecap, kekentalan ludah.
Diskusikan dengan klien tentang metode pemeliharan oral hygine.
Intruksikan perubahan pola diet misalnya hindari makanan panas, pedas, asam, hindarkan makanan yang keras.
Amati dan jelaskan pada klien tentang tanda superinfeksi oral.
Kolaboratif
Konsultasi dengan dokter gigi sebelum kemotherapi
Berikan obat sesuai indikasi, analgetik, topikal lidocaine, antimikrobial mouthwash
preparation.
Kultur lesi oral.
Rasional:
Mengkaji perkembangan proses penyembuhan dan tanda-tanda infeksi memberikan informasi penting untuk mengembangkan rencana keperawatan.
Masalah dengan kesehatan mulut dapat mempengaruhi pemasukan makanan dan minuman.
Mencari alternatif lain mengenai pemeliharaan mulut dan gigi.
Mencegah rasa tidak nyaman dan iritasi lanjut pada membran mukosa.
Agar klien mengetahui dan segera memberitahu bila ada tanda-tanda tersebut.
Meningkatkan kebersihan dan kesehatan gigi dan gusi.
Tindakan/terapi yang dapat menghilangkan nyeri, menangani infeksi dalam rongga mulut/infeksi sistemik.
Untuk mengetahui jenis kuman sehingga dapat diberikan terapi antibiotik yang tepat.

6. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake
Tujuan :
Klien menunjukkan keseimbangan cairan dengan tanda vital normal, membran mukosa normal, turgor kulit bagus, capilarry ferill normal, urine output normal.
Tindakan :
Monitor intake dan output termasuk keluaran yang tidak normal seperti emesis, diare, drainase luka. Hitung keseimbangan selama 24 jam.
Timbang berat badan jika diperlukan.
Monitor vital signs. Evaluasi pulse peripheral, capilarry refil.
Kaji turgor kulit dan keadaan membran mukosa. Catat keadaan kehausan pada klien.
Anjurkan intake cairan samapi 3000 ml per hari sesuai kebutuhan individu.
Observasi kemungkinan perdarahan seperti perlukaan pada membran mukosa, luka bedah, adanya ekimosis dan pethekie.
Hindarkan trauma dan tekanan yang berlebihan pada luka bedah.
Kolaboratif
Berikan cairan IV bila diperlukan.
Berikan therapy antiemetik.
Monitor hasil laboratorium : Hb, elektrolit, albumin
Rasional:
Pemasukan oral yang tidak adekuat dapat menyebabkan hipovolemia.
Dengan memonitor berat badan dapat diketahui bila ada ketidakseimbangan cairan.
Tanda-tanda hipovolemia segera diketahui dengan adanya takikardi, hipotensi dan suhu tubuh yang meningkat berhubungan dengan dehidrasi.
Dengan mengetahui tanda-tanda dehidrasi dapat mencegah terjadinya hipovolemia.
Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.
Segera diketahui adanya perubahan keseimbangan volume cairan.
Mencegah terjadinya perdarahan.
Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.
Mencegah/menghilangkan mual muntah.
Mengetahui perubahan yang terjadi.

7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif
Tujuan :
1. Klien mampu mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam tindakan pecegahan infeksi
2. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dan penyembuhan luka berlangsung normal
Tindakan :
Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Pengunjung juga dianjurkan melakukan hal yang sama.
Jaga personal hygine klien dengan baik.
Monitor temperatur.
Kaji semua sistem untuk melihat tanda-tanda infeksi.
Hindarkan/batasi prosedur invasif dan jaga aseptik prosedur.
Kolaboratif
Monitor CBC, WBC, granulosit, platelets.
Berikan antibiotik bila diindikasikan.
Rasional:
Mencegah terjadinya infeksi silang.
Menurunkan/mengurangi adanya organisme hidup.
Peningkatan suhu merupakan tanda terjadinya infeksi.
Mencegah/mengurangi terjadinya resiko infeksi.
Mencegah terjadinya infeksi.
Segera dapat diketahui apabila terjadi infeksi.
Adanya indikasi yang jelas sehingga antibiotik yang diberikan dapat mengatasi organisme penyebab infeksi.

8. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.
Tujuan :
1. Klien dapat mengungkapkan pengertiannya terhadap efek kanker dan therapi terhadap seksualitas
2. Mempertahankan aktivitas seksual dalam batas kemampuan
Tindakan :
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang proses seksualitas dan reaksi serta hubungannya dengan penyakitnya.
Berikan advise tentang akibat pengobatan terhadap seksualitasnya.
Berikan privacy kepada klien dan pasangannya. Ketuk pintu sebelum masuk.
Rasional:
a. Meningkatkan ekspresi seksual dan meningkatkan komunikasi terbuka antara klien dengan pasangannya.
b. Membantu klien dalam mengatasi masalah seksual yang dihadapinya.
c. Memberikan kesempatan bagi klien dan pasangannya untuk mengekspresikan perasaan dan keinginan secara wajar.

9. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
Tujuan :
1. Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik
2. Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan
Tindakan :
Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.
Anjurkan klien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal.
Ubah posisi klien secara teratur.
Berikan advise pada klien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter.
Rasional:
a. Memberikan informasi untuk perencanaan asuhan dan mengembangkan identifikasi awal terhadap perubahan integritas kulit.
b. Menghindari perlukaan yang dapat menimbulkan infeksi.
c. Menghindari penekanan yang terus menerus pada suatu daerah tertentu.
d. Mencegah trauma berlanjut pada kulit dan produk yang kontra indikatif.

TIFUS ABDOMINALIS



Pengertian

Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.

Etiologi

Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut, tidak berspra. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagela) dan antigen Vi.

Patogenesis

Bakteri masuk melaluin saluran cerna, dibutuhkan jumlah serratus ribu sampai satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah (bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii menuju keorgan sistem retikoendotial.

Gejala klinis

Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak semangat.

Pada kasus khas biasa ditemukan gejala klinis berupa demam, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

Komplikasi

Pada tifus abdo0minalis dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis, miningitis, kolesitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatis, dehidrasi, asidosis.

Diagnosis kerja

Dari anamnesis dan pemeriksaan jasmani dapat dibuat diagnosis, observasi tifus abdominalis.

Untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis

a. Pemeriksaan darah tepi

Terdapat gambar leukoperia, limfositosis relatif dan aneosinofilia. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.

b. Pemeriksaan sumsum tulang

Teradapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang.

Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis

a. Biakan empedu

Basil salmonella typhii dapat ditemukan dalam darah penderita biasnya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan

feses dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama

Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali berturt-turut digunakan untuk memnentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi pembawakman (karier).

b. Pemeriksaan lidah

Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella typii. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi.

Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis.titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis.

Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut:

1). Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil coli patogen dalam usus.

2). Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusar.

3). Terdapat infeksi silang dengan Rickettesia (loeil felix).

4). Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.

Diagnosis vanding

Parotifoid A,B dan C, influenza, malaria, tuberkulosis, dengue, pneumonia lobaris.

Pengobatan

1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.

2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi mengikat sakit yang lama, lemah dan anoreksia dll.

3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu istirahat mutlak, berbaring terus ditempat tidur. Seminggu kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.

4. Diet makanan harus cukup mengandung kalori, cairan dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak meragsang dan tidak banyak menimbulkan gas.

5. Obat terpilih adalah kloramferikol 100 mg/kg BB/hari dai bagi dalam 4dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Bla pasien tidak serasi/alergi dapat diberikan golongan obat lain misalnya penisilin atau kortimoksazol.

6. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai.

Prognosis

Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:

1. Panas tinggi (hipperpereksia) atau kontinua.

2. Kesadaran menurun sekali yaitu sopor, koma atau delirium.

3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia dll.

4. Keadaan gizi penderita buruk.

STROKE




1. Pengertian Umum Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke bagian otak, biasanya merupakan kulminasi penyakit serebrovaskuler
selama beberapa tahun (Smeltzer, 200 1).
Stroke merupakan sindrom klinis yang timbulnya mendadak, progresi
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam
atau lebih, bisa juga langsung menimbulkan kematian yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak n on traumatik (Mansjoer, 2000).
Stroke digunakan untuk menamakan sindrom hemiparesis atau
hemiparalis akibat lesi vaskular yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai
hari, tergantung pada jenis penyakit yang menjadi kausanya (Sidharta, 1994).
2. Klasifikasi Stroke
Menurut Satyanegara (1998), gangguan peredaran darah otak atau stroke
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Non Haemorrhagi/Iskemik/Infark
1)Transient Ischemic Attack (TIA)/Serangan Iskemi Sepintas
TIA merupakan tampilan peristiwa berupa episode-episode serangan
sesaat dari suatu disfungsi serebral fokal akibat gangguan vaskuler,
dengan lama serangan sekitar 2 -15 menit sampai paling lama 24 jam.
2) Defisit Neurologis Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurologi Defisit
(RIND)
Gejala dan tanda gangguan neurologis yang berlangsung lebih lama dari
24 jam dan kemudian pulih kembali (dalam jangka waktu kurang dari tiga
minggu).
3) In Evolutional atau Progressing Stroke
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau
lebih.
4) Stroke Komplit (Completed Stroke / Permanent Stroke )
Gejala gangguan neurologis dengan lesi -lesi yang stabil selama periode
waktu 18-24 jam, tanpa adanya progesifitas lanjut.
b. Stroke Haemorrhagi
Perdarahan intrakranial dibedakan berdasarkan tempat perda rahannya, yakni
di rongga subararakhnoid atau di dalam parenkhim otak (intraserebral). Ada
juga perdarahan yang terjadi bersamaan pada kedua tempat di atas seperti:
perdarahan subarakhnoid yang bocor ke dalam otak atau sebaliknya.
Selanjutnya gangguan-gangguan arteri yang menimbulkan perdarahan otak
spontan dibedakan lagi berdasarkan ukuran dan lokasi regional otak.
3. Faktor Risiko Terjadinya Stroke
Menurut Baughman (2000) yang menentukan timbulnya manifestasi
stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke. A dapun faktor-faktor tersebut:
a. Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial.
b. Diabetes Mellitus merupakan faktor risiko terjadi stroke yaitu dengan
peningkatan aterogenesis.
c. Penyakit Jantung/Kardiovaskuler berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor risiko ini akan menimbulkan embolisme serebral yang berasal dari
jantung.
d. Kadar hematokrit normal tinggi yang berhubungan dengan infark cerebral.
e. Kontrasepsi oral, peningkatan oleh hipertensi yang menyertai, usia di atas 35 tahun, perokok, dan kadar es trogen tinggi.
f. Penurunan tekanan darah yang berlebihan atau dalam jangka panjang dapat
menyebabkan iskemia cerebral umum.
g. Penyalahgunaan obat, terutama pada remaja dan dewasa muda.
h. Konsumsi alkohol
Sedangkan menurut Harsono (1996), semua faktor yang menen tukan
timbulnya manifestasi stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke. Adapun faktor -
faktor tersebut antara lain:
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak.
Apabila pembuluh darah otak pecah maka timbullah perdarahan otak dan
apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan
terganggu dan sel – sel otak akan mengalami kematian.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan
menyempitkan diameter pembuluh darah tadi dan penyempitan tersebut
kemudian akan mengganggu kelancaran aliran ke otak, yang pada akhirnya
akan menyebabkan infark sel – sel otak.
c. Penyakit Jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke. Faktor risiko
ini akan menimbulkan hambatan/sumbatan aliran darah ke otak karena
jantung melepas gumpalan darah atau sel – sel/jaringan yang telah mati ke
dalam aliran darah.
d. Gangguan Aliran Darah Otak Sepintas
Pada umumnya bentuk – bentuk gejalanya adalah sebagai berikut :
Hemiparesis, disartri, kelumpuhan otot – otot mulut atau pipi (perot),
kebutaan mendadak, hemiparestesi dan afasia.
e. Hiperkolesterolemi
Meningginya angka kolesterol dalam darah, terutama low density lipoprotein
(LDL), merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya arteriosklerosis
(menebalnya dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti penurunan
elastisitas pembuluh darah). Peningkatan kad ar LDL dan penurunan kadar
HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit jantung koroner.
f. Infeksi
Penyakit infeksi yang mampu berperan sebagai faktor risiko stroke adalah
tuberkulosis, malaria, lues, leptospirosis, dan in feksi cacing.
g. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung.
h. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya infark jantung.
i. Kelainan pembuluh darah otak
Pembuluh darah otak yang tidak normal suatu saat akan pecah dan
menimbulkan perdarahan.
j. Lain – lain
Lanjut usia, penyakit paru – paru menahun, penyakit darah, asam urat yang
berlebihan, kombinasi berbagai faktor risiko secara teori.
4. Etiologi
Menurut Smeltzer (2001) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian yaitu:
a. Trombosis serebral
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral, yang merupakan penyebab paling
umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi. Sakit kepala
adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien dapat mengalami pusing,
perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak
dapat dibedakan dari haemorrhagi intracerebral atau embolisme serebral.
Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan
kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parestesia pada setengah
tubuh dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari.
b. Embolisme serebral
Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang -
cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral. Awitan hemiparesis atau
hemiplegia tiba-tiba dengan afasia atau tanpa afasia atau kehilangan
kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmonal adalah
karakteristik dari embolisme serebral.
c. Iskemia serebral
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena
konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d. Haemorrhagi serebral
1) Haemorrhagi ekstradural (haemorrhagi epidural) adalah kedaruratan
bedah neuro yang memerlukan perawata n segera. Keadaan ini biasanya
mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri tengah arteri
meninges lain, dan pasien harus diatasi dalam beberapa jam cedera
untuk mempertahankan hidup.
2) Haemorrhagi subdural pada dasarnya sama dengan haemorrhagi epidu ral,
kecuali bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.
Karenanya periode pembentukan hematoma lebih lama dan
menyebabkan tekanan pada otak. Beberapa pasien mungkin
mengalami haemorrhagi subdural kronik tanpa menunjukkan tanda atau
gejala.
3) Haemorrhagi subarakhnoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau
hipertensi, tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme
pada area sirkulus Willisi dan malformasi arteri vena kongenital pada
otak.
4) Haemorrhagi intracerebral adalah perdar ahan di substansi dalam otak
paling umum pada pasien dengan hipertensi dan aterosklerosis serebral,
karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya
menyebabkan ruptur pembuluh darah. Biasanya awitan tiba -tiba,
dengan sakit kepala berat. Bila ha emorrhagi membesar, makin jelas
defisit neurologik yang terjadi dalam bentuk penurunan kesadaran dan
abnormalitas pada tanda vital.
5. Patofisiologi
Menurut Long (1996), otak sangat tergantung kepada oksigen dan tidak
mempunyai cadangan oksigen. Bila terjadi anoksia seperti halnya yang terjadi
pada CVA, metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan
kerusakan permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Tiap kondisi yang
menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau a noksia.
Hipoksia menyebabkan ischemik otak. Ischemik dalam otak waktu lama
menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai
dengan edema otak. Karena pada daerah yang dialiri darah terjadi penurunan
perfusi dan oksigen serta peningkatan karbondioksida dan asam laktat.
Menurut Satyanegara (1998), adanya gangguan peredaran darah otak
dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme yaitu:
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak
tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan perubahan -perubahan
iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan
nekrosis (infark).
b. Pecahnya dinding arteri cerebral akan menyebabkan bocornya darah ke
jaringan (haemorrhagi).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan
jaringan otak (misalnya: malformasi angiomatosa, aneurisma).
d. Edema cerebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interst isiel
jaringan otak.
6. Manifestasi Klinik.
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis stroke terdiri atas:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang penglihatan)
Tidak menyadari orang atau objek ditempat kehilanga n, penglihatan,
mengabaikan salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak.
2) Kehilangan penglihatan perifer
Kesulitan melihat pada malam hari, tidak menyadari objek atau batas objek.
3) Diplopia
Penglihatan ganda.
b. Defisit Motorik
1) Hemiparesis
Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama.
Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan).
2) Ataksia
Berjalan tidak mantap, tegak
Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria
Kesulitan dalam membentuk kata.
4) Disfagia
Kesulitan dalam menelan.
c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu
bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, mam pu bicara tetapi tidak
masuk akal.
3) Afasia Global
Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif.
d. Defisit Kognitif
Pada penderita stroke akan kehilangan memori jangka pendek dan panjang,
penurunan lapang perhatian, kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi ,
alasan abstrak buruk, perubahan penilaian.
e. Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi, menarik
diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, per asaan isolasi.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti tingkat
kesadaran, kekuatan otot, tonus otot, pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
Pada pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale untuk mengamati pembukaan kelopak mata,
kemampuan bicara, dan tanggap motorik (gerakan).
Pemeriksaan tingkat kesadaran adalah dengan pemeriksaan yang dikenal
sebagai Glascow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai berikut:
a. Membuka mata
1) Membuka spontan : 4
2) Membuka dengan perintah : 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri : 2
4) Tidak mampu membuka mata : 1
b. Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik : 5
2) Pembicaraan yang kacau : 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar : 3
4) Dapat bersuara, merintih : 2
5) Tidak ada suara : 1
c. Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah : 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang : 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri : 4
4) Tanggapan fleksi abnormal : 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal : 2
6) Tidak ada gerakan : 1
Sedangkan untuk pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut:
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu angkat tangan, tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh
Menurut Carpenito (1998), evaluasi masing – masing AKS (Aktivitas
Kehidupan Sehari – hari) menggunakan skala sebagai berikut:
0 : Mandiri keseluruhan
1 : Memerlukan alat bantu
2 : Memerlukan bantuan minimal
3 : Memerlukan bantuan dan/atau beberapa pengawasan
4 : Memerlukan pengawasan keseluruhan
5 : Memerlukan bantuan total
Menurut Tucker (1998), fungsi saraf cranial adalah sebagai berikut:
a. Saraf Olfaktorius (N.I): Penghidu/penciuman.
b. Saraf Optikus (N.II): Ketajaman penglihatan, lapang pandang.
c. Saraf Okulomotorius (N.III): Reflek pupil, otot ocular, eksternal termasuk
gerakan ke atas, ke bawah dan medial, kerusakan akan menyebabkan otosis
dilatasi pupil.
d. Saraf Troklearis (N.IV): Gerakan ocular menyebabkan ketidak mampuan
melihat ke bawah dan ke samping.
e. Saraf Trigeminus (N.V): fungsi sensori, reflek kornea, kulit wajah dan dahi,
mukosa hidung dan mulut, fungsi motorik, reflek rahang.
f. Saraf Abduschen (N.VI): gerakan o cular, kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan ke bawah dan ke samping.
g. Saraf Facialis (N.VII): fungsi motorik wajah bagian atas dan bawah,
kerusakan akan menyebabkan asimetris wajah dan poresis.
h. Saraf Akustikus (N.VIII): tes saraf koklear, pendengaran, konduksi udara dan
tulang, kerusakan akan menyebabkan tinitus atau kurang pendengaran atau
ketulian.
i. Saraf Glosofaringeus (N.IX): fungsi motorik, reflek gangguan faringeal atau
menelan.
j. Saraf Vagus (N.X): bicara.
k. Saraf Asesorius (N.XI): kekuatan otot trape sus dan sternokleidomastouides,
kerusakan akan menyebabkan ketidakmampuan mengangkat bahu.
l. Saraf Hipoglosus (N.XII): fungsi motorik lidah, kerusakan akan menyebabkan
ketidakmampuan menjulurkan dan menggerakkan lidah.
Menurut Tucker (1998), pemeriksaan pada penderita coma antara lain:
a. Gerakan penduler tungkai
Pasien tetap duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung, kemudian
kaki diangkat kedepan dan dilepas. Pada waktu di lepas akan ada gerakan
penduler yang makin lama makin kecil dan biasanya ber henti 6 atau 7
gerakan. Beda pada regiditas ekstramidal akan ada pengurangan waktu
tetapi tidak teratur atau tersendat – sendat.
b. Menjatuhkan tangan
Tangan pasien diangkat kemudian dijatuhkan. Pada kenaikan tonus
(hipertoni) terdapat penundaan jatuhnya le ngan kebawah. Sementara pada
hipotomisitas jatuhnya cepat.
c. Tes menjatuhkan kepala
Pasien berbaring tanpa bantal, pasien dalam keadaan relaksasi, mata
terpejam. Tangan pemeriksa yang satu diletakkan dibawah kepala pasien,
tangan yang lain mengangkat kepala dan menjatuhkan kepala lambat. Pada
kaku kuduk (nuchal regidity) oleh karena iritasi meningeal terdapat hambatan
dan nyeri pada fleksi leher.
8. Prognosis Stroke
Menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Tingkat kesadaran: sadar 16 % mening gal, somnolen 39 % meninggal, yang
stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal.
b. Usia: pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat
tajam.
c. Jenis kelamin: laki – laki lebih banyak (16 %) yang meninggal dari pada
perempuan (39 %).
d. Tekanan darah: tekanan darah tinggi prognosis jelek.
e. Lain – lain: cepat dan tepatnya pertolongan.
9. Penatalaksanaan Stroke
Menurut Harsono (1996), kematian dan deteriosasi neurologis minggu
pertama stroke iskemia oleh adanya odema otak. Odem otak timbul dalam
beberapa jam setelah stroke iskemik dan mencapai puncaknya 24 -96 jam.
Odema otak mula - mula cytofosic, karena terjadi gangguan pada
metabolisme seluler kemudian terdapat odema vasogenik karena rusaknya
sawar darah otak setempat. Untuk menurunkan od ema otak, dilakukan hal
sebagai berikut:
a. Naikkan posisi kepala dan badan bagian atas setinggi 20 -30.
b. Hindarkan pemberian cairan intravena yang berisi glukosa atau cairan
hipotonik.
c. Pemberian osmoterapi yaitu :
1) Bolus marital 1gr/kg BB dalam 20 -30 menit kemudian dilanjutkan dengan
dosis 0,25 gr/kg BB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target
osmolaritas 300-320 mmol/liter.
2) Gliserol 50% oral 0, 25 - 1gr/kg BB setiap 4 atau 6 jam atau geiseral 10%.
Intravena 10 ml/kg BB dalam 3 -4 jam (untuk odema cerebr i ringan,
sedang).
3) Furosemide 1 mg/kg BB intravena.
d. Intubasi dan hiperventilasi terkontrol dengan oksigen hiperbarik sampai
PCO2 = 29-35 mmHg.
e. Tindakan bedah dikompresif perlu dikerjakan apabila terdapat supra tentoral
dengan pergeseran linea mediarea atau cerebral infark disertai efek rasa.
f. Steroid dianggap kurang menguntungkan untuk terapi udara cerebral oleh
karena disamping menyebabkan hiperglikema juga naiknya resiko infeksi.
10. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Harsono (1996) pemeriksaan penunjang yang da pat dilakukan
pada penderita stroke adalah sebagai berikut:
a. Head CT Scan
Pada stroke non hemorhargi terlihat adanya infark sedangkan pada stroke
haemorhargi terlihat perdarahan.
b. Pemeriksaan lumbal pungsi
Pada pemeriksaan pungsi lumbal untuk pemeriksaan dia gnostik diperiksa
kimia sitologi, mikrobiologi, virologi . Disamping itu dilihat pula tetesan cairan
cerebrospinal saat keluar baik kecepatannya, kejernihannya, warna dan
tekanan yang menggambarkan proses terjadi di intra spinal. Pada stroke non
hemorargi akan ditemukan tekanan normal dari cairan cerebrospinal jernih.
Pemeriksaan pungsi cisternal dilakukan bila tidak mungkin dilakukan pungsi
lumbal. Prosedur ini dilakukan dengan supervisi neurolog yang telah
berpengalaman.
c. Elektrokardiografi (EKG)
Untuk mengetahui keadaan jantung dimana jantung berperan dalam suplai
darah ke otak.
d. Elektro Encephalo Grafi
Elektro Encephalo Grafi mengidentifikasi masalah berdasarkan gelombang
otak, menunjukkan area lokasi secara spesifik.
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan darah, kekentalan
darah, jumlah sel darah, penggumpalan trombosit yang abnormal dan
mekanisme pembekuan darah.
f. Angiografi cerebral
Pada cerebral angiografi membantu secara spesifik penyebab stroke seperti
perdarahan atau obstruksi arteri, memperlihatkan secara tepat letak
oklusi atau ruptur.
g. Magnetik Resonansi Imagine (MRI)
Menunjukkan darah yang mengalami infark, haemorhargi, Malformasi Arterior
Vena (MAV). Pemeriksaan ini lebih canggih dibanding CT Scan.
h. Ultrasonografi dopler
Mengidentifikasi penyakit Malformasi Arterior Vena .
(Harsono,1996).
Menurut Wibowo (1991), pemeriksaan X-Ray kepala dapat menunjukkan
perubahan pada glandula peneal pada sisi yang berlawanan dari massa yang
meluas, klasifikasi karotis internal yang dapat dilihat pada trombosis cerebral,
klasifikasi parsial pada dinding aneurisme pada perdarahan subarachnoid.
11. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan akhirnya
menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat.
c. Komplikasi Jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan vaskular lain: penyakit vaskular
perifer.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke
yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
b. Penurunan darah serebral
c. Embolisme serebral.

LEUKEMIA



Pengertian
Menurut Ahmad Ramadi (1998) leukemia merupakan penyakit ganas, progresif pada organ - organ pembentukan darah yang ditandai dengan proliferasi dan perkembangan leukosit serta pendahulunya secara abnormal di dalam darah dan sumsum tulang belakang. Proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang tidak abnormal, jumlahnya berlebihan, dapat ,menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian (Mansjoer, 1999).
Menurut jenisnya, leukemia dapat dibagi atas leukemia mieloid dan limfoid. Masing-masing ada yang akut dan kronik. Secara garis besar , pembagian leukemia adalah sebagai berikut yaitu :
Leukemia limfoid :
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, dengan puncak insidensi antara umur 3 sampai 4 tahun.
Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limpoblas abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular. Paling sering terjadi pada laiki - laki dibandingkan perempuan, LLA jarang terjadi (Smeltzer dan Bare, 2001).
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit) infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit. (www.medicastore.com)
Manifestasi klinis :
Hematopoesis normal terhambat
Penurunan jumlah leukosit
Penurunan sel darah merah
Penurunan trombosit

Leukeumia Limfositik Kronik (LLK)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3 kali lebih sering menyerang pria. Pada awalnya penambahan jumlah limfosit matang yang ganas terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian menyebar ke hati dan limpa, dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah. Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk melawan infeksi) juga berkurang. Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari luar, seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan tubuh yang normal. (www.medicastore.com)
Manifestasinya adalah :
Adanya anemia
Pembesaran nodus limfa
Pembesaran organ abdomen
Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun
Terjadi penurunan jumlah limfosit (limfositopenia)

Leukemia Mieloid
Leukemia Mielositik akut (LMA)
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), Leukemia akut ini mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke sua sel mieloid;monosit, granulosit, eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena , insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu ;terdapat peningkatan leukosit, pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun, anemia, ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi
Leukemia Mielogenus Kronik (LMK)
Leukemia Mielositik (mieloid, mielogenous, granulositik, LMK) adalah suatu penyakit dimana sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan sejumlah besar granulosit (salah satu jenis sel darah putih) yang abnormal (www.medicastore.com).
Dimasukkan kedalam keganasan sel stem mieloid. Namun lebih banyak terdapat sel normal dibaniding dalam bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan, jarang menyerang individu di bawah umur 20 tahun, namun insidensinya meningkat sesuai pertambahan umur.
Gambaran klinis LMK mirip dengan LMA, tetapi gejalanya lebih ringan yaitu ; Pada stadium awal, LMK bisa tidak menimbulkan gejala. Tetapi beberapa penderita bisa mengalami: kelelahan dan kelemahan, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, demam atau berkeringat dimalam hari, perasaan penuh di perutnya (karena pembesaran limpa) (Smeltzer dan Bare, 2001).

Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) meskipun penyebab leukemia tidak diketahui , presdiposisi genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan.
Faktor lingkungan berupa paparan radiasi pergion dosis tinggi disertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian. Zat-zat kimia (misalnya benzen, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazone, dan agen antineoplastil) dikaitkan dengan frkuensi yang meningkat khususnya agen-agen alkil.
Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih.
Penyebab dari sebagian besar jenis leukemia tidak diketahui.
Virus menyebabkan beberapa leukemia pada binatang (misalnya kucing). Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang menyerupai virus penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis leukemia yang jarang terjadi pada manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia (www. medicastore.com).
Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Lekemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel lekemia memblok produksi sel darah putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel lekemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan (www.MayoClinic.com).
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia,. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.(www. medicastore.com)

Pemeriksaan penunjang
Menurut Doengoes dkk (1999) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang mengenai leukemia adalah :
Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
Retikulosit : jumlah biasanya rendah
Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur (mungkin menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.
PT/PTT : memanjang
LDH : mungkin meningkat
Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut dan mielomonositik.
Copper serum : meningkat
Zinc serum : meningkat
Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan

Penatalaksanaan
Pengobatan Leukemia Mielogenus Kronik
Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan semua sel leukemik. Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium awal dan kurang efektif jika dilakukan pada fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi. Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama. Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi kemungkinan dilakukannya tranfusi.
Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.
Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.

ANEMIA



A. Pengertian
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999).
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.

B. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
Penyebab umum dari anemia:
 Perdarahan hebat
 Akut (mendadak)
 Kecelakaan
 Pembedahan
 Persalinan
 Pecah pembuluh darah
 Penyakit Kronik (menahun)
 Perdarahan hidung
 Wasir (hemoroid)
 Ulkus peptikum
 Kanker atau polip di saluran pencernaan
 Tumor ginjal atau kandung kemih
 Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
 Berkurangnya pembentukan sel darah merah
 Kekurangan zat besi
 Kekurangan vitamin B12
 Kekurangan asam folat
 Kekurangan vitamin C
 Penyakit kronik
 Meningkatnya penghancuran sel darah merah
 Pembesaran limpa
 Kerusakan mekanik pada sel darah merah
 Reaksi autoimun terhadap sel darah merah
 Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
 Sferositosis herediter
 Elliptositosis herediter
 Kekurangan G6PD
 Penyakit sel sabit
 Penyakit hemoglobin C
 Penyakit hemoglobin S-C
 Penyakit hemoglobin E
 Thalasemia (Burton, 1990).

C. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).

D. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Sjaifoellah, 1998).

E. Komplikasi
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak (Sjaifoellah, 1998).

F. Pemeriksaan penunjang
 Jumlah darah lengkap (JDL) : hemoglobin dan hemalokrit menurun
 Jumlah eritrosit : menurun (AP), menurun berat (aplastik); MCV (molume korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan mikrositik dengan eritrosit hipokronik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia (aplastik).
 Jumlah retikulosit : bervariasi, misal : menurun (AP), meningkat (respons sumsum tulang terhadap kehilangan darah/hemolisis).
 Pewarna sel darah merah : mendeteksi perubahan warna dan bentuk (dapat mengindikasikan tipe khusus anemia).
 LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, misal : peningkatan kerusakan sel darah merah : atau penyakit malignasi.
 Masa hidup sel darah merah : berguna dalam membedakan diagnosa anemia, misal : pada tipe anemia tertentu, sel darah merah mempunyai waktu hidup lebih pendek.
 Tes kerapuhan eritrosit : menurun (DB).
 SDP : jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat (hemolitik) atau menurun (aplastik).
 Jumlah trombosit : menurun caplastik; meningkat (DB); normal atau tinggi (hemolitik)
 Hemoglobin elektroforesis : mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
 Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
 Folat serum dan vitamin B12 membantu mendiagnosa anemia sehubungan dengan defisiensi masukan/absorpsi
 Besi serum : tak ada (DB); tinggi (hemolitik)
 TBC serum : meningkat (DB)
 Feritin serum : meningkat (DB)
 Masa perdarahan : memanjang (aplastik)
 LDH serum : menurun (DB)
 Tes schilling : penurunan eksresi vitamin B12 urine (AP)
 Guaiak : mungkin positif untuk darah pada urine, feses, dan isi gaster, menunjukkan perdarahan akut / kronis (DB).
 Analisa gaster : penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam hidroklorik bebas (AP).
 Aspirasi sumsum tulang/pemeriksaan/biopsi : sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk, membedakan tipe anemia, misal: peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah (aplastik).
 Pemeriksaan andoskopik dan radiografik : memeriksa sisi perdarahan : perdarahan GI (Doenges, 1999).

G. Penatalaksanaan Medis
Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.
1. Transpalasi sel darah merah.
2. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
4. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen.
5. Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :
1. Anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan :
 Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
 Pemberian preparat fe
 Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
 Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2. Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3. Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4. Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok dengan pemberian cairan dan transfusi darah.

MANAJEMEN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat untuk bekerja. Toleransi terhadap latihan rendah. Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
Tanda : takikardia/ takipnae ; dispnea pada waktu bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu, dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot, dan penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-tanda lain yang menunujukkan keletihan.
2) Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronik, misalnya perdarahan GI kronis, menstruasi berat (DB), angina, CHF (akibat kerja jantung berlebihan). Riwayat endokarditis infektif kronis. Palpitasi (takikardia kompensasi).
Tanda : TD : peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia : abnormalitas EKG, depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T; takikardia. Bunyi jantung : murmur sistolik (DB). Ekstremitas (warna) : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjuntiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku. (catatan: pada pasien kulit hitam, pucat dapat tampak sebagai keabu-abuan). Kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (AP). Sklera : biru atau putih seperti mutiara (DB). Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke kapiler dan vasokontriksi kompensasi) kuku : mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia) (DB). Rambut : kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature (AP).
3) Integritas ego
Gejala : keyakinanan agama/budaya mempengaruhi pilihan pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah.
Tanda : depresi.
4) Eleminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal. Flatulen, sindrom malabsorpsi (DB). Hematemesis, feses dengan darah segar, melena. Diare atau konstipasi. Penurunan haluaran urine.
Tanda : distensi abdomen.
5) Makanan/cairan
Gejala : penurunan masukan diet, masukan diet protein hewani rendah/masukan produk sereal tinggi (DB). Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring). Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia. Adanya penurunan berat badan. Tidak pernah puas mengunyah atau peka terhadap es, kotoran, tepung jagung, cat, tanah liat, dan sebagainya (DB).
Tanda : lidah tampak merah daging/halus (AP; defisiensi asam folat dan vitamin B12). Membrane mukosa kering, pucat. Turgor kulit : buruk, kering, tampak kisut/hilang elastisitas (DB). Stomatitis dan glositis (status defisiensi). Bibir : selitis, misalnya inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah. (DB).
6) Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidak mampuan berkonsentrasi. Insomnia, penurunan penglihatan, dan bayangan pada mata. Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah ; parestesia tangan/kaki (AP) ; klaudikasi. Sensasi manjadi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi cenderung tidur, apatis. Mental : tak mampu berespons, lambat dan dangkal. Oftalmik : hemoragis retina (aplastik, AP). Epitaksis : perdarahan dari lubang-lubang (aplastik). Gangguan koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar, dan posisi, tanda Romberg positif, paralysis (AP).
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen samara : sakit kepala (DB)
8) Pernapasan
Gejala : riwayat TB, abses paru. Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, ortopnea, dan dispnea.
9) Keamanan
Gejala : riwayat pekerjaan terpajan terhadap bahan kimia,. Riwayat terpajan pada radiasi; baik terhadap pengobatan atau kecelekaan. Riwayat kanker, terapi kanker. Tidak toleran terhadap dingin dan panas. Transfusi darah sebelumnya. Gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
Tanda : demam rendah, menggigil, berkeringat malam, limfadenopati umum. Ptekie dan ekimosis (aplastik).
10) Seksualitas
Gejala : perubahan aliran menstruasi, misalnya menoragia atau amenore (DB). Hilang libido (pria dan wanita). Imppoten.
Tanda : serviks dan dinding vagina pucat.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
5. Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
6. Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
7. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.

C. Intervensi/Implementasi keperawatan
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995).
Intervensi dan implementasi keperawatan pasien dengan anemia (Doenges, 1999) adalah :
1) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan)).
Tujuan : Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi.
- meningkatkan penyembuhan luka, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Tingkatkan cuci tangan yang baik ; oleh pemberi perawatan dan pasien.
Rasional : mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bacterial. Catatan : pasien dengan anemia berat/aplastik dapat berisiko akibat flora normal kulit.
 Pertahankan teknik aseptic ketat pada prosedur/perawatan luka.
Rasional : menurunkan risiko kolonisasi/infeksi bakteri.
 Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat.
Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi.
 Motivasi perubahan posisi/ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam.
Rasional : meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pneumonia.
 Tingkatkan masukkan cairan adekuat.
Rasional : membantu dalam pengenceran secret pernapasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah stasis cairan tubuh misalnya pernapasan dan ginjal.
 Pantau/batasi pengunjung. Berikan isolasi bila memungkinkan.
Rasional : membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi dibutuhkan pada anemia aplastik, bila respons imun sangat terganggu.
 Pantau suhu tubuh. Catat adanya menggigil dan takikardia dengan atau tanpa demam.
Rasional : adanya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan.
 Amati eritema/cairan luka.
Rasional : indikator infeksi lokal. Catatan : pembentukan pus mungkin tidak ada bila granulosit tertekan.
 Ambil specimen untuk kultur/sensitivitas sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional : membedakan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen khusus dan mempengaruhi pilihan pengobatan.
 Berikan antiseptic topical ; antibiotic sistemik (kolaborasi).
Rasional : mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi local.

2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : - menunujukkan peningkatan/mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal.
- tidak mengalami tanda mal nutrisi.
- Menununjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai.


INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.
 Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
Rasional : mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
 Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
 Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.
 Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
Rasional : gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
 Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.
Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.

 Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Rasional : membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
 Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
Rasional : meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
 Kolaborasi ; berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
Tujuan : dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
Kriteria hasil : - melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari)
- menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji kemampuan ADL pasien.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan.
 Kaji kehilangan atau gangguan keseimbangan, gaya jalan dan kelemahan otot.
Rasional : menunjukkan perubahan neurology karena defisiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan pasien/risiko cedera.
 Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional : manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
 Berikan lingkungan tenang, batasi pengunjung, dan kurangi suara bising, pertahankan tirah baring bila di indikasikan.
Rasional : meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.
 Gunakan teknik menghemat energi, anjurkan pasien istirahat bila terjadi kelelahan dan kelemahan, anjurkan pasien melakukan aktivitas semampunya (tanpa memaksakan diri).
Rasional : meningkatkan aktivitas secara bertahap sampai normal dan memperbaiki tonus otot/stamina tanpa kelemahan. Meingkatkan harga diri dan rasa terkontrol.
4) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
Tujuan : peningkatan perfusi jaringan
Kriteria hasil : - menunjukkan perfusi adekuat, misalnya tanda vital stabil.



INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Awasi tanda vital kaji pengisian kapiler, warna kulit/membrane mukosa, dasar kuku.
Rasional : memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menetukan kebutuhan intervensi.
 Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi.
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler. Catatan : kontraindikasi bila ada hipotensi.
 Awasi upaya pernapasan ; auskultasi bunyi napas perhatikan bunyi adventisius.
Rasional : dispnea, gemericik menununjukkan gangguan jajntung karena regangan jantung lama/peningkatan kompensasi curah jantung.
 Selidiki keluhan nyeri dada/palpitasi.
Rasional : iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial risiko infark.
 Hindari penggunaan botol penghangat atau botol air panas. Ukur suhu air mandi dengan thermometer.
Rasional : termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan oksigen.
 Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons terhadap terapi.
 Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.

5) Risiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi dan neurologist.
Tujuan : dapat mempertahankan integritas kulit.
Kriteria hasil : - mengidentifikasi factor risiko/perilaku individu untuk mencegah cedera dermal.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, hangat local, eritema, ekskoriasi.
Rasional : kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi dan imobilisasi. Jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi dan rusak.
 Reposisi secara periodic dan pijat permukaan tulang apabila pasien tidak bergerak atau ditempat tidur.
Rasional : meningkatkan sirkulasi kesemua kulit, membatasi iskemia jaringan/mempengaruhi hipoksia seluler.
 Anjurkan pemukaan kulit kering dan bersih. Batasi penggunaan sabun.
Rasional : area lembab, terkontaminasi, memberikan media yang sangat baik untuk pertumbuhan organisme patogenik. Sabun dapat mengeringkan kulit secara berlebihan.
 Bantu untuk latihan rentang gerak.
Rasional : meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis.
 Gunakan alat pelindung, misalnya kulit domba, keranjang, kasur tekanan udara/air. Pelindung tumit/siku dan bantal sesuai indikasi. (kolaborasi)
Rasional : menghindari kerusakan kulit dengan mencegah /menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit.

6) Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
Tujuan : membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
Kriteria hasil : - menunjukkan perubahan perilaku/pola hidup, yang diperlukan sebagai penyebab, factor pemberat.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.
Rasional : membantu mengidentifikasi penyebab /factor pemberat dan intervensi yang tepat.
 Auskultasi bunyi usus.
Rasional : bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.
 Awasi intake dan output (makanan dan cairan).
Rasional : dapat mengidentifikasi dehidrasi, kehilangan berlebihan atau alat dalam mengidentifikasi defisiensi diet.
 Dorong masukkan cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung.
Rasional : membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi. Akan membantu memperthankan status hidrasi pada diare.
 Hindari makanan yang membentuk gas.
Rasional : menurunkan distress gastric dan distensi abdomen
 Kaji kondisi kulit perianal dengan sering, catat perubahan kondisi kulit atau mulai kerusakan. Lakukan perawatan perianal setiap defekasi bila terjadi diare.
Rasional : mencegah ekskoriasi kulit dan kerusakan.
 Kolaborasi ahli gizi untuk diet siembang dengan tinggi serat dan bulk.
Rasional : serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorpsi air dalam alirannya sepanjang traktus intestinal dan dengan demikian menghasilkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk defekasi.
 Berikan pelembek feses, stimulant ringan, laksatif pembentuk bulk atau enema sesuai indikasi. Pantau keefektifan. (kolaborasi)
Rasional : mempermudah defekasi bila konstipasi terjadi.
 Berikan obat antidiare, misalnya Defenoxilat Hidroklorida dengan atropine (Lomotil) dan obat mengabsorpsi air, misalnya Metamucil. (kolaborasi).
Rasional : menurunkan motilitas usus bila diare terjadi.
7) Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.
Kriteria hasil : - pasien menyatakan pemahamannya proses penyakit dan penatalaksanaan penyakit.
- mengidentifikasi factor penyebab.
- Melakukan tiindakan yang perlu/perubahan pola hidup.

INTERVENSI & IMPLEMENTASI
 Berikan informasi tentang anemia spesifik. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya anemia.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program terapi.
 Tinjau tujuan dan persiapan untuk pemeriksaan diagnostic.
Rasional : ansietas/ketakutan tentang ketidaktahuan meningkatkan stress, selanjutnya meningkatkan beban jantung. Pengetahuan menurunkan ansietas.
 Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
 Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
 Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
Rasional : diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
 Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.

D. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
1) Infeksi tidak terjadi.
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
4) Peningkatan perfusi jaringan.
5) Dapat mempertahankan integritas kulit.
6) Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
7) Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur diagnostic dan rencana pengobatan.